Kamis, 27 Februari 2014

Blah, Blah, Blah. Kau Hujan, Kau Ungu dan Kau Bisik. Abadikan Saja

Late August – Early September 2010
kala itu, adalah hampir dua bulannya bekerja sebagai seorang buruh entry di sebuah instansi pemerintah. well, it wasn’t bad at all. It’s all started when the first time I see you.Yah, kala itu aku masih seorang bocah yang berusaha untuk move on dari kehidupanku yang dulu aku lepas begitu saja. Lelah dengan semua ngalor-ngidul-nya yang ga jelas. Anyway, I’m not telling you about the way I was before I see you. Kala itu akhir agustus, hampir waktunya menerima gaji kedua. Kurang dua atau tiga minggu lah. Lalu penglihatanku selama kurang lebih dua bulan di per-buruh­­-an, selain pada komputer, juga terpusat pada seorang kaum hawa. Gadis berambut panjang yang menarik hati dimana (mungkin) tarikannya lebih kuat dari gaya tarik magnet yang menarik paku-paku liar jalanan Magelang pagi ini *ah, sudah lah. Abaikan kalimat terakhir ini. Udah berlebihan*



kamu. Ya, kamu. Gadis usia delapan belas tahun, satu tahun di bawahku, yang aku sungguh menyukai parasnya, dan berniat untuk mengenalnya. Hanya saja jika aku punya kekuatan setara kekuatan Son Goku – bedanya kalau Goku melawan kekuatan piccolo, kalau aku kekuatan untuk mengajakmu berkenalan - mungkin aku sudah mengajakmu berkenalan kala itu. Bah, seandainya saja kala itu aku sanggup untuk mengatakan “Hai, boleh kenalan ga?” atau “Eh, maaf. Siapa namamu?” mungkin akan ada sedikit kesan di hatimu tentang pertemuan pertama kita. Hanya saja saat itu imajinasiku terlalu melayang ke arah pembodohan Ftv hingga aku tidak berani berkenalan dan memilih untuk diam dan menunggu saat yang tepat seandainya ada kesempatan berkenalan – yah mungkin kayak aku bantuin kamu mungut barang-barangmu yang terjatuh, atau menabrakmu ketika masuk ruangan atau apalah, yang pasti Ftv banget. What the f#ck?! It was a real life man, not movies. Damn I was too stupid that time. *oke, ini lebih ke curhatan pribadi daripada membahas cerita dua tahun lalu. Lagipula terlalu bodoh. Sudah ga usah digubris*
Akhirnya, aku mulai mendengar mbak-mbak yang barisan komputernya tepat di depanku, kalau ga salah bilangnya gini “ketoke m**li**n kae seneng mbek mbake kae lho, Shal. Meh ono cinlok ki ning kene?!” Spontan kala itu aku mulai  merasa tersaingi oleh gelagat dan cara si Mr. M mendekatimu. Lama-lama pemandangan itu menggangguku. Aku merasa tersaingi *critanya aku udah mulai panas. Enggak ceritanya ding, emang beneran mulai memanas :DWell, finally I must made my movement. And yet, still I don’t know how to greet you?! Sobukan hanya karena kamu duduk di sebelah temanku, namun juga karena (entah benar atau tidak) kamu udah kenal dekat dengannya, maka aku mulai dengan meminta 12 digit nomor device-mu ke dia. Aku masih ingat betul bagaimana temanku yang satu itu berusaha mendapatkan nomormu. Aku pikir tadinya dia udah punya, ternyata dia pun juga belum. Mungkin kamu masih ingat gimana dia menanyakan angka-angka itu dua tahun lalu di sosial medianya Mark Zuckerberg ini. Aku menunggu pesan teks balasan masuk untuk dua jam dan mulai berpikir “apa aku ga boleh kenal kamu yak?” dan pesan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya muncul. Betapa senangnya aku hingga kegirangan*lebay deh kayaknya yang ini -__-* sampai aku berjanji untuk menjatah satu porsi martabak untuk si mbaknya yang ngasih nomor. Masih ingat kan ketika nganter martabaknya?! Waktu di device-ku mengatakan sudah pukul 02.00 a.m alias sudah waktunya mencari makan sahur. Ya, aku ingat itu adalah bulan puasa. Dan aku juga masih ingat gimana aku mengirimkan sebuah pesan singkat pembuka cerita kita kala itu *cuuuss dah, bahasanyaa…
Yapp, kamu pun membalas. Dan ternyata, kamu udah lebih dulu bersiap untuk menerima smsku karena temanku mengutarakan niatku padamu. “Ah, sial” pikirku. Namun tak apalah, toh ini malah membuatku lebih nyaman kala itu. Namun sayangnya adalah, aku tidak pernah menjabat tanganmu officially yang membuatmu mengangkat cerita ini untuk beberapa waktu. Tak masalah sih.

Anywaykita mulai bertukar kalimat dan canda lewat pesan teks yang sedikit demi sedikit, hingga pada akhir bulan Oktober aku mampu mengajakmu untuk berbincang-bincang denganku selama beberapa menit sembari aku menikmati roti bakar selai stroberi *stroberi apa coklat ya? lupa* dan kamu ngemil jagung bakar yang kamu bilang satu porsi saja tak pernah habis, namun saat itu denganku, kamu bisa menghabiskan semuanya *tidak termasuk piring dan sendoknya lho ya* entah itu karena memang kamu yang lapar atau mungkin karena kamu yang terlalu asik tertawa denganku. Aku tak tahu dan tak peduli. Yang aku tahu, kontan kala itu pikiranku langsung membahana tentang benih-benih cinta diantara kita. Maklum saja, kala itu aku masih korban Ftv dan pembaca novel yang rajin. Lebih rajin daripada modul kuliah yang tebalnya tidak lebih dari setengah novelku sendiri. Sayangnya kala itu, kamu sama sekali tidak berani melihat ke arahku. Melihat langsung ke mataku. Kamu pun cerita langsung padaku tentang traumamu untuk melihat langsung ke mata seorang laki-laki yang baru kamu kenal. Sebuah cerita yang menurutku sangat lucu hanya karena kamu dipandang oleh laki-laki yang belum kamu kenal. Cukup lama kita mengobrol di bawah tenda jingga. Membicarakan berbagai macam hal dari penjualnya yang lucu saat membakar jagung *salah sendiri malam-malam pake kacamata hitam :D* hingga mas dan mbak yang lagi mesra di depan punggungmu. Kamu tertawa manis, membuatku senang bahwa guyonanku berhasil membuatmu tertawa. Menunjukkan bahwa pesona seorang faishal yang masih bisa guyon dengan cara guyon teman lamanya masih ada *lupakan. Dan rasa percaya diriku untuk mendekatimu pun semakin tumbuh. Mungkin lebih cepat dari tumbuhnya rumput-rumput lapangan *opo toh?!Hingga waktu menunjukkan pukul 22.00, aku tak berniat sedikitpun untuk mengangkat pantat kurusku dari hadapanmu. Masih ingin berbincang-bincang dan mengobrol banyak denganmu.Tapi apalah kata, aku harus mengantarmu pulang ke rumah. Sekalian saja agar aku tahu letak rumahmu. *modus! Hah, sesampainya aku di depan rumahmu, rasanya ingin tinggal beberapa detik yang bila dibagi 60 menjadi beberapa menit dan bisa juga malah jadi beberapa jam. Untung saja aku mampu melawan dorongan itu *lebay lagi deh -___-.Sebelum mencapai rumahmu, aku mengajakmu untuk berboncengan pada petang berikutnya untuk mencapai Biro, yang mana aku akan menjemputmu. Kamu pun bilang “ya” untuk ajakanku. Sekali lagi, aku senang mendengar jawabmu. Aku pulang dengan perasaan senang dan tidak sabaranku di usia 19 tahun. Petang di hari berikutnya pun datang, selesainya aku menutup ibadah puasaku, aku melesat ke mulut rumahmu dan menunggumu untuk mengajakmu berangkat. Dan begitulah, hari-hariku bersamamu sebelum hujan di Tugu Muda, sebelum baju ungu itu menarikku lebih dalam. Hal itu berjalan hingga akhir perburuhan pemerintah sepuluh tahun sekali itu. Bahkan lebih dari itu.

01 – 07 September 2010
Suatu hari, aku berkepentingan dengan teman SMAku. Yah, hanya janji untuk mengantarnya menuju tempat ia menjadi seorang mahasiswa. Well, it was a campus which is filled with celebrity-wanna be. Aku mengirim sebuah pesan teks yang mengatakan bahwa aku tidak bisa menjemputmu namun bisa mengantarmu pulang. But, what a shitty noon. Aku sudah berusaha mencari lokasinya. Menunggu beberapa menit di komplek mewah sebelah selatan Jateng Fair. Namun apa yang kudapat?! Hanya sebuah pesan teks yang mengatakan bahwa ia berada di dalam sebuah gerobak besi bersama dengan koleganya. Spontan kala itu juga aku mengeluarkan kata-kata mustajabku dari kaki empat hingga bangsat *buka puasa pake emosi sama umpatan yang ga baik dan jangan ditiru. Akhirnya, apa yang kudapat?! Menjemputmu tidak, bertemu kawan lama pun tidak.

Dalam perjalanan pulangku, kita masih saling tukar kabar melalui pesan teks. Terselip dari sebuah pesan teks aku membaca bahwa kau mengharap buah tangan dari jalanan PRPP. Aku tahu kamu hanya bergurau tentang buah tangan itu namun tetap saja aku kebingungan mencari apa yang baik untuk dijadikan buah tangan bagimu *berencana untuk modus lagi iniTerbersit olehku untuk membelikanmu sekilo ikan yang sering dijual di PRPP namun itu tak mungkin. Bukan hanya karena sudah petang dan bingung bagaimana kau akan membawa pulang malamnya. Bukan juga karena budget di kantongku tidak cukup untuk membeli sekilo ikan, namun juga karena itu akan absurd bila aku membawakanmu buah tangan ikan sekilo. Aku hanya menyusuri jalan sepanjang PRPP secara pelan-pelan. Melihat sisi kanan dan kiri jalanan, buah tangan macam apa yang mampu aku berikan padamu?! Pada satu gerobak, mataku tertuju. Gerobak dengan label “roti bakar dan martabak manis khas Bandung” yang sedang sepi pelanggan.Mungkin karena memang baru saja buka dan masih belum banyak yang mengantri atau memang sedang sepi omset. Tak tahulah, tanyakan saja sendiri pada penjualnya. Awalnya aku sempat melewati gerobak itu dan masih tengok kiri kanan untuk melihat apa yang bisa aku jadikan buah tangan. Meski sudah terpikir untuk membeli martabak manis itu, namun hatiku dan tangan kananku tetap menarik kabel pedati-nya Pedro, hingga aku mencapai perlintasan kereta api yang mulai menyadarkanku bahwa setelah aku melewati lintasan itu, aku tak akan lagi menemui gerobak-gerobak yang menjanjikan makanan sambilan. Hanya makanan utama. Dan pikiranku pun mulai menyadarkanku bahwa aku tak mungkin membawakanmu seporsi soto ayam, sepuluh tusuk sate, ataupun sepiring tahu gimbal.
Akhirnya, aku mengajak Pedro untuk putar balik, mencoba melarisi si mas-mas penjual martabak manis ala kota paris van java tersebut. Beruntungnya aku, belum ada pelanggan lain yang datang jadi aku bisa membelinya tanpa harus antri *kalau antri mungkin ga jadi, soale udah telat pas itu, hehehe. Akhirnya setelah beberapa menit menunggu kepastian dari mase yang jualan, pesananku jadi juga *aku mau deketin kamu apa masnya sih?.Segeralah aku melesat ke biro, dan sesegera mungkin memberikan buah tangan ini padamu. Yah, meski orang-orang di seluruh kelas harus melihat aku memberimu sebuah plastik kresek hitam (seingatku) dan mulai meneriakkan ciiee-nya, aku tak peduli. Selama aku bisa memberimu buah tangan yang awalnya hanya candaanmu belaka *hehe.
Nah, here is the best part. Aku punya harapan kala itu, untuk makan sekotak martabak itu denganmu, ya pembodohan Ftv tadi itu. Tapi, apa yang terjadi? Saat aku menoleh ke arahmu, aku melihat Tantri, *eh temanku ding. Ga boleh disebut namanya :D* sudah memegang sepotong martabak manis di tangannya dan kamu pun juga asik dengan potongan lainnya. “Yah, sudahlah” pikirku. Mungkin memang belum harapanku untuk terkabul dengan adanya keadaan dimana kita akan makan martabak itu berdua. Aku ikhlaskan saja. Namun, ada satu hal yang merusak ikhlasku. Satu hal, yang sangat mengganggu mataku setiap kali berusaha melihatmu dari tempatku dudukku.Sebuah tumpukan lemak yang selalu menjadi bayang-bayang untuk mataku. Mungkin seperti kerikil yang masuk mata ketika di jalan hingga membuatku tidak bisa melihat dengan jelas *gede kayak gitu dibilang kerikil yak?. Atau seperti tembok china yang dibangun untuk membuat musuh tidak bisa menerebos masuk.

Ya, tumpukan lemak yang memiliki label “Falah” yang juga memegang sepotong martabak manis kala itu. Damn-nya lagi, martabak itu bukan hanya si fatty aja yang makan, tapi laki-laki rambut panjang yang di depanmu pun juga, mas-mas yang sebelahnya si fatty pun ikutan ngemil. “Hei, aku beli itu bukan buat kalian! Tapi itu adalah usahaku kawan. Don’t ruin it, Dude!” itulah yang ada di pikiranku kala itu. Yap, tapi aku relakan saja. Mungkin ini yang memang harus aku lakukan agar aku bisa lebih dekat denganmu. Dan sedikit cemburu dengan orang-orang itu mungkin bisa menolongku untuk diam kala itu daripada membantu sebelahku yang terus-menerus cerewet karena komputernya yang bermasalah. I felt kinda stupid that time. And a little naïve too. Harapanku untuk makan bersamamu pun sirna sudah *akibat terlalu banyak Ftv tadi dan membuatku berpikir terlalu muluk K. Tapi semua itu terobati dengan mengantarmu pulang dan melihat senyum itu. Senyum manis yang selalu menghiasi wajahmu di hari-hari itu.
Lalu, beberapa hari setelahnya, kita pergi untuk mencari bahan bacaan karena kebetulan, kamu dan aku suka membaca. Bedanya, yang kamu baca adalah cerita tentang sendu dan sayu, sedangkan aku membaca apa saja yang menarik pikiran, namun masih lebih ke arah novel misteri dan spionase *sebenarnya sampai detik ini pun juga masih suka. Sebelumnya aku sudah mengirimkan beberapa pesan teks untukmu. Menanyakan apakah kamu sudah siap atau masihkah bersantai dari aktifitasmu di kampus gunung?! Aku menunggu untuk beberapa menit, hampir 30 menit kayaknya. Tak satupun dari pesanku yang kamu balas. Aku mulai bingung. Beberapa jam sebelumnya kita masih saling bertukar pesan dan kabar, namun tiba-tiba kamu diam dan tanpa balasan. Akhirnya, tanpa pikir panjang, aku mengganti pakaianku dan melesat sesegera mungkin ke rumahmu. Berusaha mencari tahu apa yang sedang kamu lakukan. Sesampainya di pintu rumah, tak satupun dari salamku dibalas. Hingga lima menit berikutnya, seseorang menjawab salamku dan itu adalah mbahpi. Ternyata, semua penghuni rumah sedang pulas tidur siang, termasuk kamu – mungkin salahku juga mengajakmu pergi di siang bolong ketika hari sedang panas tambah lagi itu adalah bulan Ramadhan, cocok untuk tidur siang. Akhirnya kamu pun malu untuk menemuiku. Dan lucunya lagi, kamuhebring karena aku datang saat kamu bangun tidur yang mana kamu sendiri ketika itu tidak ingin aku melihat keadaanmu saat bangun tidur *tapi setelah itu pasti tiap liat kamu bangun tidur ada kalimat “cinta po ra?” :D. Namun bagiku tak jadi masalah, karena ketika bangun tidur aku lebih tahu seperti apa aslimu daripada ketika kamu berdandan. Yah, itu lucu memang ketika melihatmu bangun tidur, namun kala itu aku masih belum melihat mata itu. Mata yang dihiasi lingkaran yang membuatmu menjadi lebih seperti panda saat ini *hehehe, damai yak. Ga boleh manyun loh. Akhirnya aku pun juga harus menunggumu selesai mandi dan dandan. Badanku yang baru saja mandi *maklum kala itu aku bangunnya juga siang sih* berkeringat kembali karena panasnya Kota Semarang yang aduhai kala itu. Tak seperti kemarin yang akhirnya aku sudah terbiasa. Selesainya kamu dengan mandimu dan dandanmu, kita melaju. Berdua berada di bawah panasnya matahari yang lama-lama membuatku tak betah meski sudah bersamamu yang mendinginkan hatiku *asyah, lebay.
Awalnya, kita pergi ke taman baca masyarakat Jawa Tengah, perpustakaan wilayah. Yang tak pernah sepi oleh pengunjung meski isinya tidak selengkap yang aku kira *ga ada buku yang terlalu mainstream sih. Kita mulai sibuk mencari tumpukan-tumpukan kertas dengan sampul menarik, dan judul yang mungkin saja memikat hati. Sampai akhirnya kamu menemukan manga dan duduk dengan tenang di salah satu meja, sedangkan aku masih sibuk mencari sebuah buku yang mungkin menarik minat bacaku. Well then, aku nemu satu yang begitu memikat. Novel tentang nazi dan manusia buatannya. Manusia yang menganggap dirinya adalah ras paling kuat diantara ras manusia, menciptakan ras lain yang siap tempur dan tak pernah kenal takut. Bersampul coklat dengan ilustrasi seorang laki-laki kekar setara hercules dan judul buku yang ditulis dengan font celtic *oke, ini cerita apa ya? kok malah sampai ke detail buku dan ceritanya?.
Aku mendekatimu, menarik kursi dan duduk di sampingmu. Mulai membaca halaman pertama, tentu saja sebelumnya aku menanyakan tentang buku ditanganmu lebih dulu padamu. Kita terdiam sejenak. Sama-sama fokus pada halaman-halaman yang kita baca kala itu. I felt kinda stupid that time. Kencan macam apa yang mengajak seorang wanita ke sebuah perpustakaan daerah dan hanya duduk diam sambil membaca bacaan?Akhirnya, terbersit pikiran untuk mengajakmu bicara. Hanya saja pikiran itu belum menemukan topik yang tepat *oke, kala itu aku benar-benar kehabisan topik untuk dibicarakan, ceritanya lagi grogi. Hingga muncul sebuah pernyataan dariku bahwa aku akan mendekatimu. Aku berpikir mungkin kamu akan risih denganku, atau mungkin ilfill, namun tidak. Kamu malah bilang …. *ah, lupa aku kamu bilang apa?! Well, I forgot the rest of the story in the library. Tapi, aku ingat kemudian kita pergi ke toko buku bukan setelah dari perpustakaan? Yah, aku ingat itu. Awalnya aku berniat mencari novel yang sedikit tidaknya membawaku ke dalam cerita. Namun aku malah tertarik dengan judul-judul buku yang tebalnya sangat luar biasa, dengan hard cover-nya yang cukup untuk melumatkan seekor lalat. Dan beberapa buku filsafat, sejarah, hingga keagamaan yang membingungkan. Hingga aku tak tahu apa yang ingin aku beli *maklum kala itu ideologiku masih ideologi murni, belum kepikiran soal sehabis kuliahNah, karena saking bingungnya aku kala itu dengan berbagai macam judul buku dan bukunya sendiri, aku jadi kehilangan pandangan akan dirimu *itu sih salahku sendiri, kebanyakan lietin buku sih. Mulailah aku kebingungan mencarimu, hingga aku menemukanmu di pojokan sebuah rak dimana komik-komik dipajang. Aku mendekatimu, menanyakan apa yang sedang kau baca.

“Baca apa sih?” Begitu tanyaku padamu. Dan sedikit senyum simpul yang kau pamerkan padaku. “Komik” jawabmu. Sebuah komik drama yang aku tak tahu apa isinya karena sama sekalli belum pernah membacanya ataupun membukanya. Namun tetap saja aku tidak ingin tahu, hanya berusaha membuka percakapan denganmu, dan itu pun berhasil. Meski hanya beberapa saat.

Untuk beberapa menit, aku masih mengelilingi rak-rak buku yang judulnya membuatku benar-benar bingung. Tak tahu mana yang akan ku beli lebih dulu. Maklum, kala itu ideologiku sebagai mahasiswa masih melekat dan berusaha untuk memberi makan otakku dengan filsafat-filsafat aneh yang mungkin juga merusak pikiranku. Akhirnya karena tidak betah dengan kebingungan – mual lihat berbagai judul yang bikin kepala pusing – aku mengajakmu untuk meninggalkan rak-rak terkutuk yang menggodaku itu. Saat keluar, untuk pertama kalinya, aku menggenggam jari-jari itu. Aku menggait tanganmu untuk menuntunmu keluar. Kau tahu bagaimana perasaanku kala itu? Aku bagaikan seorang anak kecil yang diberi permen oleh ibunya, hanya saja perasaan itu lebih tinggi dan lebih sakral. aku langsung semangat empat lima kala itu. Hingga akhirnya kita sampai di rumahmu. Membicarakan apa saja yang bisa kita obrolkan. Tak terasa pun, hari semakin sore dan mendung menyelimuti langit saat itu. Maklum sudah masuk musim hujan. Aku masih belum beranjak dari tempatku duduk dan masih sempat mengobrol banyak denganmu. Hingga tetesan gerimis menutupi jalanan depan rumahmu.Dari gerimis menjadi hujan deras, perasaanku untuk beranjak semakin malas. Dan mungkin ini entah kebetulan atau bukan, namun setiap kali aku berada di rumah seorang wanita untuk pertama kalinya, hujan selalu menyertaiku. Mungkin hujan adalah teman setiaku. Mungkin hujan mengawasiku. Maka dari itu, aku memanggilmu hujan, agar selalu menghujani hati tandusku *aduh, bahasaku mulai melankolis -__-.

07 September 2010
Sehari sebelum aku melangkah pulang ke Magelang, yang merupakan budaya orang di negeri ini ketika datang waktunya Idul Fitri yang mana disebut dengan mudik, tepatnya tanggal 07 September 2010, aku menjemputmu untuk mencapai biro. Kala itu penampilanku begitu menyiksa mata menurutku. Bagaimana tidak, karena stok baju yang habis dan mulai pada kotor *udah mulai males nyuci, hehehe*, akhirnya aku mengenakan kaos biru muda yang cukup menyala dan sedikit nge-press di badan. Awalnya, tak masalah lah, hanya ke biro gini. Namun tiba-tiba, ketika mencapai rumahmu, kamu bilang “aku pengen maen e, mas, maen yuk!” Dan dengan senangnya *karena diajak bolos kerja, terlebih lagi kamu yang ngajakaku meng-iya-kan saja kalimatmu. Meski aku tidak menyangka kamu akan mengajakku malam itu, aku tetap saja bahagia sundul langitmendengarnya. Saking bahagianya, baju yang menyiksa badanpun mulai lupa untuk kurasakan. Aku menunggumu berdandan dan mengenakan pakaian, karena kala itu aku ingat kamu hanya memakai tanktop *yang ini ga boleh dibantah, kamu beneran pake tanktop. Dan selesainya kamu dandan, aku terpesona dengan baju ungu itu. Baju dengan warna dominan ungu dan titik-titik putihnya, membuatku terpesona. Mungkin kamu tak menyadarinya, tapi aku benar-benar terpesona.

Aku memboncengmu dengan perasaan yang campur aduk. Mulai terpikir di benakku (sebenarnya), untuk mengatakan sayang dan cintanya aku padamu malam itu juga. Hanya saja awalnya aku merencanakan untuk mengatakannya ketika aku kembali dari kampung halaman. Aku mulai mempertimbangkan niat awalku dan segera mengatakan kalimat sakral itu malam itu juga. Takut kamu akan direbut orang lain lebih dulu dan aku ga pernah punya kesempatan untuk mengatakannya *pengalaman yang sudah-sudah. Oke, aku mulai menetapkan niatku untuk nembak kamu malam itu juga. Dan mungkin karena grogi juga, lambat laun baju yang sempit di badan itu mulai terasa menyiksa dan aku baru saja sadar akan baju itu. Aku pun juga mulai sadar bahwa penampilanku malam itu benar-benar mirip kimcil jaman sekarang yang suka dengan baju-baju berwarna cerah. I really felt stupid that night, like a walking light-blue lamp. Yang parahnya lagi adalah, aku pun juga meninggalkan jaketku di kamar kos karena malam itu terasa sangat panas, tak tahu jika semakin malam hujan akan turun dan udara semakin dingin.

Hingga kita mencapai Tugu Muda, tujuan kita malam itu. Tujuan kita awalnya, sebelum aku pulang. Kita berjalan, mengelilingi kolam kotor nan bundar khasnya tugu muda, hingga akhirnya kita duduk di salah satu sudut taman. Aku benar-benar merasa seperti orang gila malam itu. Memakai kaos biru menyala dengan gambarnya yang benar-benar memuakkan. Benar-benar tidak sinkron denganmu. “Asem, ngopo mau aku ra ngumbahi?! Nak ngumbahi lak saiki wis iso dinggo” begitulah pikirku malam itu. Berjalan dengan seorang gadis yang menarik pandang sedangkan aku sebagai laki-laki yang mendampinginya malah menarik lemparan batu karena risih melihat penampilanku.Mungkin karena itu juga aku tidak pernah lagi memakai pakaian selain hitam dan putih. Menyesal karena membuatmu malu, pikirku.

Setelah satu putaran selesai mengitari kolam kumuh itu *emang pembalap apa ya?*, kita duduk di salah satu sudut taman bundar, menikmati orang-orang yang lalu-lalang di hadapan kita. Dan bahkan sampai kita duduk pun, aku masih memikirkan tentang bajuku yang ga matching sama sekali denganmu. Terlebih lagi, aku lebih tersiksa karena sempitnya sandanganku. Shit! Belum genap sepuluh menit kita memandangi lalu-lalangnya orang-orang, gerimis mulai mengguyur Tugu Muda, yang kemudian menjadi hujan sebesar biji jagung. Kita berusaha mencari tempat berteduh karena untuk melakukan perjalanan pulang pun mustahil. Bukan karena takut hujan, namun juga karena mantolku yang bersifat individu dan aku ga mau kamu basah kuyup karena hujan. Akhirnya kita mencari tempat berteduh di depan bangunan tua jaman penjajahan Belanda yang memiliki begitu banyak pintu. Hampir kita berteduh di bawah pohon bersama dengan mas-mas yang juga sedang berteduh di sana, hingga aku mulai sadar akan keadaanmu ketika laki-laki asing melihatmu. So, I took you to one of the tend in rightside of the gate. Dengan banner besarnya yang bertuliskan “POSKO SUPRANATURAL”. Bukan untuk meramal tentunya, hanya ingin berteduh.

Awalnya, aku hampir tidak tahu lagi harus berdiri di sebelah mana. Karena tenda yang sudah full dengan insan-insan yang berlindung dari hujan. Hanya yang harus aku lakukan adalah menjauhkanmu dari hujan dan mata-mata yang akan membuatmu tidak nyaman.Karena tempat yang mulai sempit, akhirnya kita berdiri di pinggir trotoar, dimana tenda masih melindungimu dari hujan dan aku berdiri di belakangmu, menutupi pandangan mata yang akan membawamu pada ketidaknyamanan. Kita berdiri sangat dekat kala itu, hingga perasaanku membawa tanganku melingkar memelukmu. Entah mungkin ini karena pengaruh posko supranatural atau karena rasa sayangku, tapi aku hanya mengikuti alur. Lambat laun pikiranku mulai terbawa oleh niatku ketika di jalan tadi denganmu. Ada dorongan untuk mengatakan, ada pula dorongan untuk menundanya. Ada dorongan untuk menyelam, ada juga dorongan untuk tenggelam *ah. Akhirnya, aku lebih memilih untuk mengatakannya daripada menyimpannya untuk rencanaku setelah hari raya. Rasa sayang dan ingin memiliki itu mendorongku untuk meletakkan mulutku setara telingamu, dekat sedekat satu cm dan kemudian berbisik. “Aku sayang kamu”. Aku hanya mengatakan itu, tak ada permintaan dariku untukmu agar menjadi pacarku. Tak ada. Untuk sesaat kamu diam. Lalu melempar pandangan dan senyummu padaku, yang tadinya pandangan itu tertuju ke arah tugu. “Apa harus dijawab sekarang?” katamu. Aku hanya mengernyitkan dahi dan menyatukan alisku, sedikit melirik ke arah kanan untuk setengah detik dan menganggukkan kepala bersama dengan gumamanku sebagai isyarat “iya”.

Untuk beberapa saat kamu diam. Memikirkan apa yang akan kamu katakan padaku. Meski aku tahu kamu akan bilang ‘ya’, aku tetap saja menunggu jawabanmu *ini terlalu pede kali ya? Hingga kau menggerakkan jari telunjukmu kearahku, tandamu untuk menyuruhku lebih dekat. Aku memiringkan kepalaku, kali ini giliran telingaku yang aku setarakan dengan mulutmu. Mencoba mendengar bisikanmu. “Aku juga sayang kamu”. Aku tersenyum. Kembali menarik kepalaku pada posisiku semula dan memelukmu lebih erat kali ini. Senyum itu masih melekat di wajahku. Bahkan hingga sekarang, aku masih tersenyum ketika mengingat malam itu. Rasanya, aku tidak ingin  melihat hujan reda. Aku ingin lebih lama lagi memelukmu malam itu. Tak ingin melepasmu. Dan memang ketika aku memelukmu, aku merasa tidak ingin melepas pelukan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar