Kamis, 27 Februari 2014

Terima Kasih anda Tidak Merokok (HASUOG)

Aku adalah seorang perokok aktif. Setiap kali mengerjakan sesuatu aku pasti akan menyalakan rokok ketika mulutku terasa kecut. Atau ketika aku mencium aroma wangi tembakau yang dibakar oleh orang lain. Di kasus sebelumnya, aku tidak mengalami kesulitan soal rokok karena memang yang empunya rumah adalah perokok. Jadi aku bisa menghisap batang racun terkutuk ini bersama dengannya. Namun bagaimana jika sang empunya rumah tidak memperbolehkan asap rokok di dalam rumahnya? Ini pastilah sebuah cerita lain.


Suatu hari aku berencana untuk sedikit menaikkan harga jasa yang aku berikan. Dan sekalinya aku manikkan harga, beberapa orang di sosial media menyuarakan ketidak setujuannya soal mahalnya harga. Namun aku masih tidak peduli karena aku yang datang ke rumah mereka, bukan mereka yang datang kepadaku. Dan kala itu ada juga yang menyewa jasaku. Seorang pemuda yang letak rumahnya cukup jauh dari rumahku. Aku bilang jauh karena daerah rumahnya adalah daerah perbatasan antara Jogja-Magelang. Bahkan hampir mencapai kecamatan Sleman.
Adalah Gulon, Salam, nama derah tempat tinggalnya. Aku cukup ingat jalanannya yang rusak karena terlalu banyaknya kendaraan-kendaraan kelas berat yang lewat. Bis, truk muatan, bahkan seringnya dilewati truk pengangkut pasir yang beratnya minta ampun. Pantas saja jika jalannya sering rusak. Apalagi ditambah beberapa bulan sebelumnya terjadi erupsi gunung merapi yang dahsyat. Tambah banyak aja tuh, para penambang pasir *kadang banyak terjadi kecelakaan gara-gara pasir yang jatuh di jalan lho.
Saat itu, aku melewati rute yang sudah jarang aku dua tahun terakhir ini. Rute dimana aku pernah menabrak sebuah keluarga. Ketika itu aku bersama dengan seseorang yang kala itu, adalah seseorang yang berarti di hatiku *halah. aku sempat khawatir dengannya ketika kecelakaan terjadi. Apalagi semua itu adalah kesalahanku sendiri. Dan rute ini mengingatkanku akan kenangan pahit itu. Membuatku melamun untuk beberapa saat hingga aku hampir mengulangi kesalahanku dulu. Namun untung saja, aku sedikit cekatan hingga tak jadi mencium bokong sebuah mobil pick-up *apalah itu.
Sesampainya di rumah klien, aku sedikit terpaku dengan tanda terima kasih yang ada di tembok ruang tamunya. Bukan terima kasih karena mengucapkan salam saat masuk atau terima kasih karena sudah bertamu. Namun itu adalah terima kasih yang menghambat kebiasaanku. Terima kasih yang cukup membuatku merasa sedikit tersiksa. Ucapan terima kasih itu berbunyi "TERIMA KASIH ANDA TIDAK MEROKOK". Spontan juga aku mengumpat di dalam hati. Aku hanya berharap, pekerjaanku di rumah ini tidak memakan waktu lama dan tidak terlalu sulit menghadapinya. Namun sirna sudah harapanku ketika melihat laptop jadul yang dikeluarkannya. Bahkan laptop milik Erie saja lebih baik tampilannya daripada yang satu ini.
Adalah sebuah bencana besar ketika seorang perokok tidak bisa merokok. Apalagi di rumah seorang yang tidak bisa berinteraksi dengan orang asing sama sekali. Inilah kenapa aku tidak setuju jika rokok dilarang di negeri ini. Rokok adalah sarana interaksi sosial. Terlebih lagi ketika sang empunya rumah saja adalah seorang pendiam kelas berat. Aku yakin dia adalah seorang introvert kelas kakap di sekitar sini.
"Mampuslah aku" gumamku kepada diri sendiri. Tak tahu sang empunya rumah sedikit mendengar gumamanku.
"Gimana mas?" sahutnya.
"Ah, ga apa apa kok. Ini drivernya masih ada?" aku mencoba untuk mengalihkan perhatiannya.
"Wah, kurang tahu e mas." Jawabnya sambil menyentuh bagian belakang kepalanya. Dari lagaknya menjawab pertanyaanku, aku yakin orang ini tidak tahu menahu soal komputer. Tambah mampuslah aku.
"Itu lho, kaset bawaan laptop sewaktu pertama beli dari toko" jelasku padanya.
"Wah, ga ada mas. Ini aku beline second kok" dan aku hanya menjawab dengan "Ooooo" panjang yang menandakan bahwa aku mengerti kondisinya. Namun sejujurnya, aku mengungkapkan bahwa aku sedang dalam masalah yang cukup besar dan mengekspresikannya lewat jawabanku. Bagaimana bukan masalah besar, aku tidak bisa merokok untuk beberapa jam ke depan, driver komputer yang tidak ada, dan sang empunya rumah yang tak tahu apa-apa. Ditambah lagi komputer yang aku kerjakan ini semua pengaturannya menggunakan bahasa Jerman yang aku sama sekali tidak mengerti. Terus mana yang namanya tombol restart?! Bagaimana mau restart jika aku tidak tahu artinya.
Selama satu jam pertama, aku selesai memasang sistem operasinya. Namun yang menjadi kendala adalah drivernya. Kenapa driver ini begitu menjadi permasalahan setiap kali aku selesai memasang sistem operasi? Meskipun aku sudah memiliki driver universal, driver yang bisa aku gunakan untuk segala jenis komputer, namun tetap saja, tidak ada driver yang cocok. Mungkin ini karena memang laptopnya yang sudah terlalu jaman dulu kala. Aku heran, masih saja ada orang yang mengurus laptop-laptop seperti ini?!
Memasuki jam ketiga, aku mulai merasa kecut di mulut. Entah kenapa setiap kali aku mnegerjakan sesuatu, aku selalu ingin menghabiskan waktuku dengan rokok. Apalagi ketika sang empunya rumah ini hanya menyediakan segelas teh tanpa hidangan apapun. Ya mungkin aku memang tidak mengharapkan sajian sebagai teman untuk segelas teh hangat di hadapanku ini. Namun aku rasa sang empunya rumah ini sudah lama tidak menjadi orang Magelang. Karena dilihat dari apa yang dia sajikan hanya segelas teh hangat. Ditambah lagi dia hanya sibuk dengan hape pintarnya saja. Tidak juga mengajakku berbincang-bincang. Inilah yang menjadi penyakit di generasi modern sekarang ini. Mereka terlalu terpaku pada perangkat praktisnya dimana mereka hanya sibuk chatting-an. Mungkin ke depannya, mereka akan lebih mementingkan hapenya daripada bertemu dengan manusia secara bertatapan.
Akhirnya, mau tidak mau aku yang harus memancingnya untuk berbicara. Agar aku tidak merasa sepi dan lagi bisa membantuku melupakan rasa kecut di ujung bibir ini. Aku mendengar suara burung kala itu. Dan yang kudengar adalah burung kenari. Tepat sekali karena meski hanya sedikit, aku tahu tentang jenis burung satu ini. Akhirnya aku sempatkan diri untuk mendengarkan semua ocehannya mengenai burung kenari. Mulai dari peranakan yang baik itu seperti apa hingga jenis-jenis burung kenari.
Setelah dia selesai mengobrol soal burung, dia melempar kembali perhatiannya ke hape pintarnya. Pikirku "aduh, aku harus bagaimana nak denganmu? Kau ini lebih tua dariku namun caramu berinteraksi dengan sesama manusia sama sekali kurang. Aku heran bagaimana kau bisa bertahan di masyarakat jika mengobrol dengan orang yang sama sekali asing denganmu saja kau tidak bisa?!" aku pun kembali merasakan kecutnya bibir yang tanpa rokok. Sebuah pesan singkat aku kirimkan ke sahabatku yang isinya soal rasa kecut ketika merokok itu tidak bisa.
Akhirnya, saat aku memasuki jam keempat, aku menyerah. Aku berpamitan dengan empunya rumah untuk sesegera mungkin bisa keluar. Saat harga yang ia tanyakan untuk jasaku, aku dengan isengnya memberi harga tinggi. Sekitar 10% dari harga normal yang sekarang ini aku berikan. Namun saat itu aku memang sedang memasang harga tinggi. Lagipula kesepakatan awal kami pun harganya memang sudah segitu.
Ketika aku keluar rumah, saat aku mulai menyalakan mesin kendaraanku. Aku mengeluarkan sebungkus rokok dari kantongku, menyalakan sebatang di mulutku tepat saat si empunya rumah ini masih berada di depan pintu. Yah, aku memang orang yang sering sekali melakukan hal seperti ini. Menyindir dengan tingkahku yang mungkin bagi sang empunya rumah cukup menyakiti hati.
Selang beberapa bulan kemudian, dia menghubungi kembali. Menyatakan komplainnya soal komputer yang tidak tertata rapi pada perangkat lunaknya. Namun anehnya, dia bukan bermaksud untuk menggunakan jasaku kembali. Namun maksud dia menghubungiku adalah pamer bahwa dia sudah mendapatkan jasa yang lebih murah dari jasaku. Aku tidak tahu maksud pastinya apa, namun aku merasa bahwa dia merasa terdzalimi oleh tingkahku dulu *hahahahaha.
Aku mencoba menempatkan diriku di posisinya. Mungkin dia hanya ingin menyarankan padaku untuk menurunkan harga jasa instal ulang. Mungkin juga dia ingin mengatakan padaku bahwa ada jasa yang lebih murah dari jasaku. Yah, entahlah. Bisa saja dia mencoba membalas sakit hatinya karena aku menyalakan rokok di depan rumahnya. Seperti sebelumnya, isi kepala orang siapa yang tahu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar